Rabu, 04 Desember 2013

bruttal

       Brutal……
Seketika langkahku harus kuhentikan di garis pembatas apel pagi. Guru piket sangar itupun melototi ku dari bawah sampai atas dan kebawah lagi. Tak bisa kubalas lototannya karena aku hanya bisa tertunduk dan menatap sepatuku yang sedikit dekil. Tolong hanya sedikit…
Apel pagi pun berakhir dengan tertib, ingin kulanjutkan langkahku dan berlari ke barisan, tetapi si sangar itu terus mengikuti gerak-gerikku. Ntah apa gerangan yeng telah ia pikirkan di dalam kepalanya yang botak mengkilap. Kaca matanya yang berwarna emas sesekali turun dari batang hidungnya yang tak begitu mancung. Huh! Baru tiga minggu sekolah namaku harus tercatat di buku hitam yang penuh dosa itu. Tuhaan…. Mimpi apa aku semalam?
          Seharian di sekolah membuatku lelah dan harus beristirahat. Apa? Istirahat? Mana bisa! Aku kan harus mengikuti les lagi. Otakku terus dihantui dengan kata-kata PULAAANG… Ya mau gimana lagi? Cita-cita harus memang tercapai dengan belajar.
          Hal yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seseorang dari kelas sana pun meneriakiku.
“Der… udah bisa pulang?” Tanya saudara laki-laki ku.
“Udah kok, ayok pulang. Tapi makan dulu ya.” Jawabku dengan senyum lebar.
“Iya-iya. Abang juga lapar”. Jawabnya lagi.
Tanpa berbelit-belit kami langsung menuju KFC yang kebetulan berada di seberang tempat Bimbel ku. Sambil menunggu bang Ardi memesan makanan kukeluarkan netbook kecil kesayanganku dan mengkoneksikannya langsung ke wifi yang tersedia. Ayam goreng yang telah di bawa dari kasir pun kami santap dengan lahap dan nikmat. Seusai makan ku dengar keluhan kecil…
“Hoam.. ngantuk. Siap makan kok ngantuk ya.” Keluh bang Ardi.
“Iya, itu karna kekenyangaan…” Cetusku.
          Kami pun keluar dari pintu merah ber les kuning. Mobil innova hitam pun telah menunggu kami. Setibanya dirumah kami melakukan aktivitas masing-masing tanpa memperdulikan kejadian-kejadian yang telah terjadi selama seharian kami meninggalkan rumah.
          Hari demi hari pun kulewati dengan penuh ke-brutalan. Ntah trik-trik apalagi yang akan kujalankan dengan geng kecil yang sudah kami bentuk di sekolah yang baru itu.
          Di minggu ke empat sekolah, dikelas dilakukan pemilihan ketua dan wakil-wakilnya. Terpilihlah aku sebagai ketua kelas baru. Haha… Sesekali tawaku terbesit karna memikirkan poin suara yang tertera di papan tulis. Aku bingung dan tak henti-henti nya bertanya. Kenapa kalian memilihku?
          Tapi apa boleh buat? Aku sudah terpilih dan aku harus siap menjadi wakil dari semua anggotaku di setiap kesalahan maupun kebenaran.
Semenjak itu, aku merasa semakin banyak beban yang harus kutanggung. Dan dari situlah aku melihat bahwa menjadi seorang ketua harus memang betul-betul penuh motivasi dan tanggung jawab.
          Satu tahun penuh kujalani menjadi seorang siswi dan sekaligus ketua dari 28 anggota. Rasanya berat bila harus meninggalkan jabatanku yang tak seberapa. Tapi apalah daya, waktu yang mempertemukan dan waktulah yang akan memisahkan segalanya.
          Hari-hari di kelas dua pun kujalani. Awalnya aku dan teman-teman berfikir kami bakalan terpisah dengan adanya kelas baru. Tetapi firasat buruk itu membayar semua keluhan kami dengan ditiadakannya pengacakan kelas.
          Ya, seperti biasa setiap tahun ajaran baru selalu diadakan pemilihan ketua kelas. Aku yang dulunya pernah menjadi ketua kelas sekarang terpilih lagi menjadi salah satu kandidat pengurus kelas.
          Terulang lagi pemikiranku seperti tahun lalu. Tak habis-habisnya aku berfikir dan bertanya-tanya apa gerangan yang ada di dalam fikiran teman-temanku ini. Mengapa mereka selalu menyalonkan aku. Apa mereka belum puas dengan semua kebrutalan yang telah kami lakukan di tahun lalu. Haha.. mungkin mereka selalu berfikiran hal yang sama dengan ku.
          Tapi doa ku yang menginginkan untuk tidak menjadi ketua lagi terkabul. Aku tidak terpilih lagi. Setengah bagian dari kami sedikit merasa kecewa karena mereka merasa bahwa tidak akan bisa seperti dulu lagi, mengisi hari-hari dengan berbagai ke-brutalan. Tidak bisa menjalankan trik-trik aneh yang biasa dilakukan segerombolan siswi-siswi muda yang masih labil.
          Hari demi hari pun harus dijalani dengan keikhlasan hati. Ikhlas harus sekolah pagi pulang malam, ikhlas harus dihukum karena terlambat, ikhlas harus dihukum karena pergi ke kantin disaat jam pelajaran, ikhlas harus dihukum karena ketahuan membaca komik di dalam kelas. Dan yang harus lebih kuikhlaskan lagi aku harus rela memberi gelar juara kepada dia teman sekelasku yang memang sedikit lebih pintar dari aku. Hanya sedikit…
Maafkan kami pak, kami tidak akan mengulanginya lagi…
Hari itu, ya hari itu kembali lagi. Kembali untuk menyerahkfan benda-benda kesayanganku. Benda-benda yang sudah kuanggap bagian dari naluri jiwaku. Benda-benda yang selalu mengisi suasana penatku dimanapun aku berada.
Empat komik yang baru saja kupinjam di sebuah toko buku langgananku di tengah pasar terpaksa harus kuserahkan kepada pihak yang berwajib, yaitu guru piket. Hari itu pun ku jadikan sebagai hari bersejarah keduaku setelah aku dihukum habis-habisan karena tidak melaksanakan tugas ketua kelas sebagaimana mestinya. Tetapi kuakui hal yang telah kulakukan kemarin memang diluar kendala ku. Ah, sudahlah. Tak selera lagi aku mengingat masalah itu.
Hari itu tidak ada kabar bahwa akan diadakan razia. Razia dadakan yang telah direncanakan para guru-guru piket itu telah berhasil mereka jalankan. Dan yaa mungkin berhasil untuk membuat kami si pecinta komik ini jera. Berbagai jenis komik didapatkan didalam tas-tas kami yang padat. Begitu juga dengan aku. Yang lebih parahnya lagi, aku harus menyerahkan komik yang belum sekalipun sempat untuk ku baca. Selalu saja aku mendapati rasa penyesalan di dalam hari-hariku di setiap minggu. Tapi berbagai penyesalan itu lah yang mungkin memberikan bunga-bunga di dalam hari-hariku.
“Pak, maafkan kami. Kami berjanji tidak akan membawa komik lagi kesekolah, kami berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.” Ucap kami secara serentak dan berharap masalah ini tidak akan menyebar luas. Si guru itupun memberikan tatapan sinisnya. Sembari menyatakan perjanjian dengan kami, bahwa kami tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.
Begitulah setiap minggu yang kujalani. Tak habis-habisnya tingkah konyolku dan teman-teman mewarnai sekolah kami yang cukup luas itu. Sesekali terbesit dalam pikiranku, tidak bosan-bosannya guru itu mengikuti gerakku? Bahkan dia sudah beberapa kali memergokiku melakukan kesalahan. Sampai-sampai sebelum aku melangkahkan kakiku, aku selalu mengawasi keberadaannya disekitarku. Karena aku sudah jera dengan berbagai ocehannya.

Selamat jalan catur-catur kecilku ….
Hari itu tepat pada hari jum’at. Pagi hari sekali kutemukan seorang teman dekatku sedang memamerkan catur kecil kepada teman sekelas kami. Akupun terdiam dan tiba-tiba masuk kedalam ilusi nya yang sedikit menarikku untuk ikut ribut dalam rumunan mereka. Akupun melihat sekotak catur kecil yang rasanya tidak asing lagi dimataku. Sembari mengingat Anggi pun dengan semangatnya meneriakiku dari tengah mereka. Ia pun berusaha mengingatkanku tentang kemunculan catur kecil itu. Aku teringat, ternyata catur itu kami dapatkan dari hasil bermain di Time zone minggu lalu.
“Der, gimana kalo kita mainnya nanti pas waktu jam sholat jumat. Yakin deh, pasti gak bakalan ada guru yang tau kalo kita membawa catur ini.” Bisik Anggi dengan tawa kecilnya yang licik.
“Iyasih, itu ide bagus. Nanti kita mainnya kayak tanding catur internasional ya. Semua pintu dan jendela harus ditutup, biar gak ganggu konsentrasi. Haha..” Balas ku dengan tawa licik juga.
Bel jam sholat pun berbunyi. Semua siswa pun langsung menuju masjid sekolah untuk melaksanakan sholat jum’at. Kami pun menjalankan misi rahasia yang sudah direncanakan tadi. Tanpa mengulur waktu, Anggi langsung mengeluarkan catur dan tepung sebagai tanda kekalahan.
Ditengah permainan, suasana pun menegang. Coretan-coretan tepung telah memenuhi wajah kami. Tiba-tiba saja seseorang masuk ke kelas dan dengan khasnya mengucap salam. Jantungku pun seketika ingin jatuh dari gantungannya dan tidak akan bisa di gantungkan lagi. Guru itu langsung mengintrogasi kami dan menahan butiran-butiran catur yang telah susah payah kami dapatkan. Perasaan takut pun seketika berubah menjadi penyesalan. Penyesalan karena telah menggunakan jam yang tidak tepat untuk berhip-hip hura dengan teman.
“ Pak… maaf kan kami, kami tidak akan mengulanginya lagi.” Ocehku dan Anggi berusaha meyakinkan.
Hanya kata-kata itu yang biasa dan wajib kami katakan setiap selesai melakukan kesalahan. Dan selalu berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.


Rasanya jantung ini ingin copot dan tak bisa di lem lagi sekalipun itu dengan lem setan……
Kembali lagi dengan segala kenakalan yang hampir setiap hari kami lakukan di masa putih biru. Kali ini kenakalan yang menurut kami wajar ternyata luar biasa di mata guru lebay itu.
“Laper nih,” Ujar seorang temanku.
“Iya, aku juga merasakannya” Balasku.
“Gimana kalo kita izin ke kantin?”Tanyanya lagi.
“Ha? Mana bisa. Inikan sudah jam belajar. Mustahil deh dibolehin.” Sangkalku meremehkan.
“Deraa…..! Otakmu kurang kreativ ya, bisa aja kan kita izin ke musholla untuk sholat dhuha.” Cetusnya sambil menunjukkan jam tangannya.
Tanpa berfikir panjang, aku dan Hera langsung menuju meja piket untuk meminta izin sholat dhuha. Dengan wajah curiga guru itu langsung menyapa kami. Kamipun langsung menyatakan maksud hati kami datang menemui beliau.
Wajah sinisnya selalu menyangkal apa yang kami katakan. Bersusah payah kami meyakinkan nya kalo kami memang betul-betul sudah tobat dan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sholat dhuha lebih sering.
Ternyata beliau tidak tega melihat wajah kami. Misi berikutnya kami jalankan dengan begitu sempurna. Guru itu mengira dia bisa melawan kami? Tentu saja tidak lah. Kami ini kan aktor sekaligus detektif terbaik seangkatan ku di sekolah ini.
Sambil melewati masjid yang berada tepat di samping kantin, kami berjalan perlahan supaya tidak ada yang curiga dengan ini semua. Masuk ke kantin sambil memesan makanan. Aku dan hera menunggu di meja tempat makan yang sudah tersedia. Ternyata oh ternyata pelayan kantin sudah berubah menjadi guru piket yang kami temui lebih dari 1000 kali di sekolah ini.
          Terjadi lagi saat-saat menegangkan bersama si guru itu. Rasanya jantung ini ingin copot dan tak bisa di lem lagi sekalipun itu dengan lem setan. Guru itu dengan dendam langsung memberi perintah masuk ke kelas. Padahal makanan yang sudah dipesan tadi belum sempat di makan barang sesuap pun. Sakit hati ini menyaksikan semuanya. Tapi apalah daya bubur tidak bisa kembali lagi menjadi nasi.
          Takut sih takut. Tapi untungnya guru itu sudah paham dengan sikap dan tingkah kami. Akhir-akhir ini sih dia agak baik. Ntah kenapa. Padahal sudah beribu kenakalan yang kami lakukan di depan dia. Apa ini saat-saat terakhirnya. Ah, ngaco!

Tiang bendera oh Tiang Bendera..
          Siang itu siang dimana aku telah menjalankan status sebagai senior di sekolahku. Kelas tiga adalah kata yang pas buat itu. Tepat pukul satu kami mendapati seorang guru fisika masuk dengan wajah merengut ke dalam kelas. Niat untuk belajar malah berubah menjadi ketegangan, seakan-akan drama aksi akan segera dimulai di sebuah bioskop.
          Dengan suara lantang dan wajahnya yang dingin ia menyuruh kami untuk mengerjakan soal yang ada di buku. Seorang temanku mencoba membuka pebicaraan. Dengan keberanian yang tak cukup bulat, Dinda mencoba menjelaskan kepada Pak Sumardianto bahwa soal-soal tersebut belum pernah kami bahas.
“Lancang sekali kamu!” Cetus guru fisika itu tiba-tiba.
“Mana pernah saya memberikan tugas kepada siswa sementara saya belum mengajarkannya”. Tambahnya lagi.
          Semua siswi di kelas itupun tertunuduk seketika. Seperti ada hempasan petir yang telah menyerang kelas kami. Hingga tak satupun dapat meredam amarah beliau.
          Si guru itu lalu membereskan tas lalu keluar dengan menghempaskan pintu. Ketua kelas langsung membuka forum untuk menyelesaikan masalah. Ditengah-tengah forum, tiba-tiba mikrofon sekolah berdengung dan menyebutkan..
“Kepada kelas IX 1 harap segera turun ke bawah seluruhnya.” Seru guru piket.
          Tanpa menutup forum, kami turun dengan modal berani. Langsung kami masuk keruangan guru fisika itu untuk meminta maaf. Wajah sinisnya ternyata tak mampu kami rubah menjadi senyuman manis. Padahal apa yang telah dikatakan Dinda tadi benar. Hanya guru itu yang bersikeras dan dengan amarahnya mencetuskan perkataan yang sedikit merubah suasana.
“Pak, maafkan kami.” Bujuk ketua kelas.
“Untuk apa kalian minta maaf? Kalian fikir karena kalian ini senior kalian bisa sesuka hati.” Balas guru Fisika.
“Pak, maafkan kami. Kami akan berjanji, ini akan menjadi kenakalan kami yang terakhir. Kami berjanji kejadian-kejadian seperti semua yang telah kami lakukan tidak akan terjadi lagi.” Mohon ketua kelas.
“Semua janji-janji kalian bawa saja. Saya sudah kenyang dengan semua janji yang telah kalian berikan. Sekarang kalian berbaris di depan tiang bendera!” Perintah nya.
          Ketua kelas langsung mengambil alih barisan. Semua siswa-siswi yang lewat dari tiang bendera melihat ketegangan dan keseriusan kami menghormat bendera.
“Kami tidak akan mengulangi nya lagi!” Teriak ku dan teman-teman.
          Begitulah hari kami sampai menuju perpisahan sekolah. Setiap harinya melakukan ke-brutalan. Tetapi kami yakin dan berprinsip, bahwa kebrutalan harus berbanding lurus dengan prestasi. Dan prinsip kami benar. Kami selalu menjadi utusan sekolah untuk mengikuti olompiade-olimpiade dan lomba-lomba sekolah.
          Tetapi di saat-saat terakhir, kami berjanji tidak akan membawa sifat nakal kami ke SMA kelak. Kami tidak akan menjadi siswi-siswi yang brutal lagi walaupun tidak satu sekolah lagi.
Kami tidak akan sering terlambat lagi.
Kami tidak akan pernah cabut ke kantin di saat jam pelajaran.
Kami tidak akan pernah main catur di jam yang tidak tepat.
Kami tidak akan berani lagi membaca komik di saat guru sedang menerangkan di depan kelas.
         
Itulah janji kami…..




BRUTAL

       Brutal……
Seketika langkahku harus kuhentikan di garis pembatas apel pagi. Guru piket sangar itupun melototi ku dari bawah sampai atas dan kebawah lagi. Tak bisa kubalas lototannya karena aku hanya bisa tertunduk dan menatap sepatuku yang sedikit dekil. Tolong hanya sedikit…
Apel pagi pun berakhir dengan tertib, ingin kulanjutkan langkahku dan berlari ke barisan, tetapi si sangar itu terus mengikuti gerak-gerikku. Ntah apa gerangan yeng telah ia pikirkan di dalam kepalanya yang botak mengkilap. Kaca matanya yang berwarna emas sesekali turun dari batang hidungnya yang tak begitu mancung. Huh! Baru tiga minggu sekolah namaku harus tercatat di buku hitam yang penuh dosa itu. Tuhaan…. Mimpi apa aku semalam?
          Seharian di sekolah membuatku lelah dan harus beristirahat. Apa? Istirahat? Mana bisa! Aku kan harus mengikuti les lagi. Otakku terus dihantui dengan kata-kata PULAAANG… Ya mau gimana lagi? Cita-cita harus memang tercapai dengan belajar.
          Hal yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seseorang dari kelas sana pun meneriakiku.
“Der… udah bisa pulang?” Tanya saudara laki-laki ku.
“Udah kok, ayok pulang. Tapi makan dulu ya.” Jawabku dengan senyum lebar.
“Iya-iya. Abang juga lapar”. Jawabnya lagi.
Tanpa berbelit-belit kami langsung menuju KFC yang kebetulan berada di seberang tempat Bimbel ku. Sambil menunggu bang Ardi memesan makanan kukeluarkan netbook kecil kesayanganku dan mengkoneksikannya langsung ke wifi yang tersedia. Ayam goreng yang telah di bawa dari kasir pun kami santap dengan lahap dan nikmat. Seusai makan ku dengar keluhan kecil…
“Hoam.. ngantuk. Siap makan kok ngantuk ya.” Keluh bang Ardi.
“Iya, itu karna kekenyangaan…” Cetusku.
          Kami pun keluar dari pintu merah ber les kuning. Mobil innova hitam pun telah menunggu kami. Setibanya dirumah kami melakukan aktivitas masing-masing tanpa memperdulikan kejadian-kejadian yang telah terjadi selama seharian kami meninggalkan rumah.
          Hari demi hari pun kulewati dengan penuh ke-brutalan. Ntah trik-trik apalagi yang akan kujalankan dengan geng kecil yang sudah kami bentuk di sekolah yang baru itu.
          Di minggu ke empat sekolah, dikelas dilakukan pemilihan ketua dan wakil-wakilnya. Terpilihlah aku sebagai ketua kelas baru. Haha… Sesekali tawaku terbesit karna memikirkan poin suara yang tertera di papan tulis. Aku bingung dan tak henti-henti nya bertanya. Kenapa kalian memilihku?
          Tapi apa boleh buat? Aku sudah terpilih dan aku harus siap menjadi wakil dari semua anggotaku di setiap kesalahan maupun kebenaran.
Semenjak itu, aku merasa semakin banyak beban yang harus kutanggung. Dan dari situlah aku melihat bahwa menjadi seorang ketua harus memang betul-betul penuh motivasi dan tanggung jawab.
          Satu tahun penuh kujalani menjadi seorang siswi dan sekaligus ketua dari 28 anggota. Rasanya berat bila harus meninggalkan jabatanku yang tak seberapa. Tapi apalah daya, waktu yang mempertemukan dan waktulah yang akan memisahkan segalanya.
          Hari-hari di kelas dua pun kujalani. Awalnya aku dan teman-teman berfikir kami bakalan terpisah dengan adanya kelas baru. Tetapi firasat buruk itu membayar semua keluhan kami dengan ditiadakannya pengacakan kelas.
          Ya, seperti biasa setiap tahun ajaran baru selalu diadakan pemilihan ketua kelas. Aku yang dulunya pernah menjadi ketua kelas sekarang terpilih lagi menjadi salah satu kandidat pengurus kelas.
          Terulang lagi pemikiranku seperti tahun lalu. Tak habis-habisnya aku berfikir dan bertanya-tanya apa gerangan yang ada di dalam fikiran teman-temanku ini. Mengapa mereka selalu menyalonkan aku. Apa mereka belum puas dengan semua kebrutalan yang telah kami lakukan di tahun lalu. Haha.. mungkin mereka selalu berfikiran hal yang sama dengan ku.
          Tapi doa ku yang menginginkan untuk tidak menjadi ketua lagi terkabul. Aku tidak terpilih lagi. Setengah bagian dari kami sedikit merasa kecewa karena mereka merasa bahwa tidak akan bisa seperti dulu lagi, mengisi hari-hari dengan berbagai ke-brutalan. Tidak bisa menjalankan trik-trik aneh yang biasa dilakukan segerombolan siswi-siswi muda yang masih labil.
          Hari demi hari pun harus dijalani dengan keikhlasan hati. Ikhlas harus sekolah pagi pulang malam, ikhlas harus dihukum karena terlambat, ikhlas harus dihukum karena pergi ke kantin disaat jam pelajaran, ikhlas harus dihukum karena ketahuan membaca komik di dalam kelas. Dan yang harus lebih kuikhlaskan lagi aku harus rela memberi gelar juara kepada dia teman sekelasku yang memang sedikit lebih pintar dari aku. Hanya sedikit…
Maafkan kami pak, kami tidak akan mengulanginya lagi…
Hari itu, ya hari itu kembali lagi. Kembali untuk menyerahkfan benda-benda kesayanganku. Benda-benda yang sudah kuanggap bagian dari naluri jiwaku. Benda-benda yang selalu mengisi suasana penatku dimanapun aku berada.
Empat komik yang baru saja kupinjam di sebuah toko buku langgananku di tengah pasar terpaksa harus kuserahkan kepada pihak yang berwajib, yaitu guru piket. Hari itu pun ku jadikan sebagai hari bersejarah keduaku setelah aku dihukum habis-habisan karena tidak melaksanakan tugas ketua kelas sebagaimana mestinya. Tetapi kuakui hal yang telah kulakukan kemarin memang diluar kendala ku. Ah, sudahlah. Tak selera lagi aku mengingat masalah itu.
Hari itu tidak ada kabar bahwa akan diadakan razia. Razia dadakan yang telah direncanakan para guru-guru piket itu telah berhasil mereka jalankan. Dan yaa mungkin berhasil untuk membuat kami si pecinta komik ini jera. Berbagai jenis komik didapatkan didalam tas-tas kami yang padat. Begitu juga dengan aku. Yang lebih parahnya lagi, aku harus menyerahkan komik yang belum sekalipun sempat untuk ku baca. Selalu saja aku mendapati rasa penyesalan di dalam hari-hariku di setiap minggu. Tapi berbagai penyesalan itu lah yang mungkin memberikan bunga-bunga di dalam hari-hariku.
“Pak, maafkan kami. Kami berjanji tidak akan membawa komik lagi kesekolah, kami berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.” Ucap kami secara serentak dan berharap masalah ini tidak akan menyebar luas. Si guru itupun memberikan tatapan sinisnya. Sembari menyatakan perjanjian dengan kami, bahwa kami tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.
Begitulah setiap minggu yang kujalani. Tak habis-habisnya tingkah konyolku dan teman-teman mewarnai sekolah kami yang cukup luas itu. Sesekali terbesit dalam pikiranku, tidak bosan-bosannya guru itu mengikuti gerakku? Bahkan dia sudah beberapa kali memergokiku melakukan kesalahan. Sampai-sampai sebelum aku melangkahkan kakiku, aku selalu mengawasi keberadaannya disekitarku. Karena aku sudah jera dengan berbagai ocehannya.

Selamat jalan catur-catur kecilku ….
Hari itu tepat pada hari jum’at. Pagi hari sekali kutemukan seorang teman dekatku sedang memamerkan catur kecil kepada teman sekelas kami. Akupun terdiam dan tiba-tiba masuk kedalam ilusi nya yang sedikit menarikku untuk ikut ribut dalam rumunan mereka. Akupun melihat sekotak catur kecil yang rasanya tidak asing lagi dimataku. Sembari mengingat Anggi pun dengan semangatnya meneriakiku dari tengah mereka. Ia pun berusaha mengingatkanku tentang kemunculan catur kecil itu. Aku teringat, ternyata catur itu kami dapatkan dari hasil bermain di Time zone minggu lalu.
“Der, gimana kalo kita mainnya nanti pas waktu jam sholat jumat. Yakin deh, pasti gak bakalan ada guru yang tau kalo kita membawa catur ini.” Bisik Anggi dengan tawa kecilnya yang licik.
“Iyasih, itu ide bagus. Nanti kita mainnya kayak tanding catur internasional ya. Semua pintu dan jendela harus ditutup, biar gak ganggu konsentrasi. Haha..” Balas ku dengan tawa licik juga.
Bel jam sholat pun berbunyi. Semua siswa pun langsung menuju masjid sekolah untuk melaksanakan sholat jum’at. Kami pun menjalankan misi rahasia yang sudah direncanakan tadi. Tanpa mengulur waktu, Anggi langsung mengeluarkan catur dan tepung sebagai tanda kekalahan.
Ditengah permainan, suasana pun menegang. Coretan-coretan tepung telah memenuhi wajah kami. Tiba-tiba saja seseorang masuk ke kelas dan dengan khasnya mengucap salam. Jantungku pun seketika ingin jatuh dari gantungannya dan tidak akan bisa di gantungkan lagi. Guru itu langsung mengintrogasi kami dan menahan butiran-butiran catur yang telah susah payah kami dapatkan. Perasaan takut pun seketika berubah menjadi penyesalan. Penyesalan karena telah menggunakan jam yang tidak tepat untuk berhip-hip hura dengan teman.
“ Pak… maaf kan kami, kami tidak akan mengulanginya lagi.” Ocehku dan Anggi berusaha meyakinkan.
Hanya kata-kata itu yang biasa dan wajib kami katakan setiap selesai melakukan kesalahan. Dan selalu berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.


Rasanya jantung ini ingin copot dan tak bisa di lem lagi sekalipun itu dengan lem setan……
Kembali lagi dengan segala kenakalan yang hampir setiap hari kami lakukan di masa putih biru. Kali ini kenakalan yang menurut kami wajar ternyata luar biasa di mata guru lebay itu.
“Laper nih,” Ujar seorang temanku.
“Iya, aku juga merasakannya” Balasku.
“Gimana kalo kita izin ke kantin?”Tanyanya lagi.
“Ha? Mana bisa. Inikan sudah jam belajar. Mustahil deh dibolehin.” Sangkalku meremehkan.
“Deraa…..! Otakmu kurang kreativ ya, bisa aja kan kita izin ke musholla untuk sholat dhuha.” Cetusnya sambil menunjukkan jam tangannya.
Tanpa berfikir panjang, aku dan Hera langsung menuju meja piket untuk meminta izin sholat dhuha. Dengan wajah curiga guru itu langsung menyapa kami. Kamipun langsung menyatakan maksud hati kami datang menemui beliau.
Wajah sinisnya selalu menyangkal apa yang kami katakan. Bersusah payah kami meyakinkan nya kalo kami memang betul-betul sudah tobat dan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sholat dhuha lebih sering.
Ternyata beliau tidak tega melihat wajah kami. Misi berikutnya kami jalankan dengan begitu sempurna. Guru itu mengira dia bisa melawan kami? Tentu saja tidak lah. Kami ini kan aktor sekaligus detektif terbaik seangkatan ku di sekolah ini.
Sambil melewati masjid yang berada tepat di samping kantin, kami berjalan perlahan supaya tidak ada yang curiga dengan ini semua. Masuk ke kantin sambil memesan makanan. Aku dan hera menunggu di meja tempat makan yang sudah tersedia. Ternyata oh ternyata pelayan kantin sudah berubah menjadi guru piket yang kami temui lebih dari 1000 kali di sekolah ini.
          Terjadi lagi saat-saat menegangkan bersama si guru itu. Rasanya jantung ini ingin copot dan tak bisa di lem lagi sekalipun itu dengan lem setan. Guru itu dengan dendam langsung memberi perintah masuk ke kelas. Padahal makanan yang sudah dipesan tadi belum sempat di makan barang sesuap pun. Sakit hati ini menyaksikan semuanya. Tapi apalah daya bubur tidak bisa kembali lagi menjadi nasi.
          Takut sih takut. Tapi untungnya guru itu sudah paham dengan sikap dan tingkah kami. Akhir-akhir ini sih dia agak baik. Ntah kenapa. Padahal sudah beribu kenakalan yang kami lakukan di depan dia. Apa ini saat-saat terakhirnya. Ah, ngaco!

Tiang bendera oh Tiang Bendera..
          Siang itu siang dimana aku telah menjalankan status sebagai senior di sekolahku. Kelas tiga adalah kata yang pas buat itu. Tepat pukul satu kami mendapati seorang guru fisika masuk dengan wajah merengut ke dalam kelas. Niat untuk belajar malah berubah menjadi ketegangan, seakan-akan drama aksi akan segera dimulai di sebuah bioskop.
          Dengan suara lantang dan wajahnya yang dingin ia menyuruh kami untuk mengerjakan soal yang ada di buku. Seorang temanku mencoba membuka pebicaraan. Dengan keberanian yang tak cukup bulat, Dinda mencoba menjelaskan kepada Pak Sumardianto bahwa soal-soal tersebut belum pernah kami bahas.
“Lancang sekali kamu!” Cetus guru fisika itu tiba-tiba.
“Mana pernah saya memberikan tugas kepada siswa sementara saya belum mengajarkannya”. Tambahnya lagi.
          Semua siswi di kelas itupun tertunuduk seketika. Seperti ada hempasan petir yang telah menyerang kelas kami. Hingga tak satupun dapat meredam amarah beliau.
          Si guru itu lalu membereskan tas lalu keluar dengan menghempaskan pintu. Ketua kelas langsung membuka forum untuk menyelesaikan masalah. Ditengah-tengah forum, tiba-tiba mikrofon sekolah berdengung dan menyebutkan..
“Kepada kelas IX 1 harap segera turun ke bawah seluruhnya.” Seru guru piket.
          Tanpa menutup forum, kami turun dengan modal berani. Langsung kami masuk keruangan guru fisika itu untuk meminta maaf. Wajah sinisnya ternyata tak mampu kami rubah menjadi senyuman manis. Padahal apa yang telah dikatakan Dinda tadi benar. Hanya guru itu yang bersikeras dan dengan amarahnya mencetuskan perkataan yang sedikit merubah suasana.
“Pak, maafkan kami.” Bujuk ketua kelas.
“Untuk apa kalian minta maaf? Kalian fikir karena kalian ini senior kalian bisa sesuka hati.” Balas guru Fisika.
“Pak, maafkan kami. Kami akan berjanji, ini akan menjadi kenakalan kami yang terakhir. Kami berjanji kejadian-kejadian seperti semua yang telah kami lakukan tidak akan terjadi lagi.” Mohon ketua kelas.
“Semua janji-janji kalian bawa saja. Saya sudah kenyang dengan semua janji yang telah kalian berikan. Sekarang kalian berbaris di depan tiang bendera!” Perintah nya.
          Ketua kelas langsung mengambil alih barisan. Semua siswa-siswi yang lewat dari tiang bendera melihat ketegangan dan keseriusan kami menghormat bendera.
“Kami tidak akan mengulangi nya lagi!” Teriak ku dan teman-teman.
          Begitulah hari kami sampai menuju perpisahan sekolah. Setiap harinya melakukan ke-brutalan. Tetapi kami yakin dan berprinsip, bahwa kebrutalan harus berbanding lurus dengan prestasi. Dan prinsip kami benar. Kami selalu menjadi utusan sekolah untuk mengikuti olompiade-olimpiade dan lomba-lomba sekolah.
          Tetapi di saat-saat terakhir, kami berjanji tidak akan membawa sifat nakal kami ke SMA kelak. Kami tidak akan menjadi siswi-siswi yang brutal lagi walaupun tidak satu sekolah lagi.
Kami tidak akan sering terlambat lagi.
Kami tidak akan pernah cabut ke kantin di saat jam pelajaran.
Kami tidak akan pernah main catur di jam yang tidak tepat.
Kami tidak akan berani lagi membaca komik di saat guru sedang menerangkan di depan kelas.
         
Itulah janji kami…..